Seorang gadis dengan rambut panjang yang dikunci, berjalan menuruni tangga dengan menggunakan balutan seragam putih abu-abunya yang ia kenakan, Ia terlihat begitu cantik. Ya.. dia adalah Anjelika Rara Putri. Sejak kecil orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan Rara. Kini dia berjalan menghampiri seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk di meja makan dia adalah Adi. Betapa senangnya Rara pagi ini karena bisa makan bersama dengan ayahnya, ia sangat merindukan suasana seperti ini.

“Selamat pagi ayah” Rara menyapa ayahnya dengan senyuman, “hemmm” jawab Adi dengan raut wajah yang datar, Rara terlihat sedikit kecewa dengan jawaban yang ia dapat. Ia kini duduk makan bersama dengan ayahnya, hanya dentingan bunyi sendok yang terdengar, Rara benci dengan keadaan seperti ini, ia pun bangun dari duduknya dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. “Ayah Rara berangkat ke sekolah dulu ya”, Adi yang mendengar itu hanya berbalik untuk mengambil sesuatu, Rara berpikir kalau ayahnya memang sudah tidak memedulikannya

Rara kini berjalan menyusuri jalanan kota yang terlihat begitu ramai , dipenuhi beberapa kendaraan dan pejalan kaki . Hari ini ia sengaja tidak naik angkutan umum, lagian jarak dari rumah ke sekolahnya tidak terlalu jauh. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat seorang anak kecil yang terjatuh, dan ditolong oleh seorang laki-laki yang mungkin seumuran ayahnya, laki-laki itu terlihat begitu khawatir dengan anak kecil itu. Rara kemudian mempercepat langkahnya ia terlihat begitu kalut dan sedih, ia merasa iri dengan anak kecil tadi. Tanpa sadar ia menangis.

Kini Rara sudah berada di depan sekolahnya yang kelihatan begitu ramai. Maklum ini sudah mendekati jam tuju. “Rara…..” terik seseorang dari arah belakang, Rara sedikit menoleh dan sudah ia tebak itu pasti Nani, ya siapa lagi kalau bukan Nani, Nani adalah sahabatnya sejak SMP dan dia adalah orang yang tahu tentang Rara, dan hanya Nani sahabat satu-satunya “pagi Rara, kok tumben kamu enggak telat” Rara hanya membalas dengan senyuman canggung, “kok pagi-pagi gini mukanya cemberut sih, pasti ada masalah ya”, “hemm” jawab Rara, “nanti aja deh ceritanya yuk kita masuk”. Sepasang sahabat itu kini berjalan menyusuri koridor sekolah yang menuju ke kelas 11 MIPA 1, Rara memang salah satu murid pintar di sekolahnya apa lagi soal hitung menghitung, jangan ditanya lagi deh, tapi akhir-akhir ini nilai Rara begitu turun dan sikapnya berubah, ia bahkan sudah dipanggil oleh guru kesiswaan karena sikapnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.45, sedikit lagi lonceng akan dibunyikan, tapi Rara belum juga menampakkan dirinya. Nani sedikit kecewa dengan keadaan Rara akhir-akhir ini yang berubah, ia sering bolos pelajaran tidur di kelas dan masih banyak lagi. kring… lonceng sudah berbunyi tanda proses pembelajaran berakhir. “Nani” panggil ibu Maya , “iya Bu ada apa?”, “di mana Rara kenapa dia tidak masuk pelajaran saya?” ,enggak tahu bu tadi saat jam istirahat dia ijin ke toilet terus enggak balik- balik”, “Kalau besok dia datang suruh ke ruangan saya”, “iya Bu nanti saya sampaikan”. Matahari sudah mulai terbit , tapi Rara baru saja memasuki pekarangan rumahnya. Sedari tadi ia memilih untuk pergi ke suatu tempat yang bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Saat kakinya melangkah memasuki rumahnya, seorang yang berdiri di tangga membuat Rara diam mematung, “ayah….ayah sudah pulang” , “dari mana saja kamu jam begini baru pulang” ,”tadi Rara ada kerja kelompok ayah ,jadi Rara pulangnya agak telat”, jawab Rara dengan takut-takut. “Hehh.. kamu pikir saya tidak tau kelakuan kamu!”, “Memalukan!” .”Mau jadi perempuan kaya apa kamu”, “benar yah, tadi…” ,plak! satu tamparan mendarat di pipi Rara ,Rara yang mendapat perlakuan seperti itu hanya diam. Ia takut menjawab lagi .Tetesan bening mulai menetes di pipinya, Rara tak bisa menahan lagi .ia berlari ke kamarnya ia tidak memedulikan ayahnya yang menatapnya dengan penuh amarah.

Di ruangan yang gelap dan hanya ditemani sinar bulan, Rara menangis sejadi-jadinya, ia menutupi dirinya dengan selimut agar isakannya tidak terdengar. sebenarnya Rara senang kalau ayahnya sudah mulai peduli dengannya tapi, bukan seperti ini yang Rara inginkan. “kenapa ayah tidak pernah mengerti dengan Rara?”, “kenapa?”, “kenapa ayahnya berubah?”, “kenapa ayah tidak sayang lagi dengan Rara?, ”Rara Semakin terisak, ketika ia mengingat kejadian 1 tahun lalu yang menimpa keluarganya, yang membuat ayahnya begitu berubah, kejadian di mana ibunya meninggalkan mereka.

“Bun temani Rara beli novel dong”, “ihhh nanti aja ibu ada urusan”, “bentar aja bu enggak lama kok”, “besok aja gimana?”, “ihhh ibu mah gitu” , “iya deh tapi kamu yang beli ya, ibu tunggu di mobil”. Beberapa saat setelah Rara membeli novel, Rara keluar dari toko dengan raut wajah yang gembira, tanpa ia sadari mobil yang melaju kencang hampir menabraknya, saat itu juga ia terjatuh karena dorongan dari seorang “ibu…!” Rara berteriak kaget ,karena ibunya sudah terkapar dan banyak dara .Rara sangat menyesalinya, karena kemauannya ya, ia sampai kehilangan ibunya.

Sinar matahari pagi yang menembus langsung pada kaca jendela, tidak mampu membangunkan Rara yang masih terlelap puas. Tiba-tiba ia tersadar, karena dentingan bunyi telepon, ia mulai mengerjap-ngerjapkan matanya yang terlihat sembab, karena semalam ia menangis sampai ketiduran. “Halo”, “Rara kamu enggak sekolah ya hari ini”, “apa kamu sakit?”, “jawab dong kok diam aja sih”, “gimana gue mau jawab”, “lu aja dari tadi nannya mulu”, “egak ada jeda”, “hehehe maaf, soalnya kamu sih enggak kelihatan di sekolah”. “gue sekolah emang kenapa?”, “hah sekolah?, terus kamu pikir ini udah jam berapa?. Rara menutup telepon sepihak, tanpa memedulikan Nani yang sedang mengoceh. Ia segera bangun dan bersiap, beberapa saat kemudian ia sudah selesai, “Waktunya berangkat”. Saat sampai di sekolah, gerbang sekolah sudah tutup dari setengah jam yang lalu Rara mulai memikirkan cara agar bisa masuk ke dalam sekolah, akhirnya ia memutuskan untuk loncat pagar belakang sekolah. Ia pun memulai aksinya, tanpa ia sadari ternyata ada salah satu guru yang memperhatikannya. “Ehemmm”, deheman seseorang membuat Rara kaget. “ehhh pak Bayu ” Rara menggaruk kepalanya yang tidak gatal , “kamu tu ya, sudah telat pakai acara loncat pagar lagi” , “ehhh maaf pak”, “sini kamu ikut saya”. Rara berjalan mengikuti langkah kaki pak Bayu, yang mengarah ke ruangan kesiswaan. “Kenapa kamu loncat pagar?, “itu pak tadi saya telat pak”, “terus kamu pikir kalo kamu telat, terus loncat pagar itu solusi yang baik?, Rara hanya tertunduk. “kamu tahu kan sangsinya kalau lompat pagar”, “enggak tahu pak”, “kamu harus membersihkan toilet sekolah, terus nanti bapak kan buat surat panggilan untuk orang tua kamu, karena ada laporan dari beberapa guru tentang kelakuan kamu”, “ia pak”, “nanti pulang sekolah kamu ke ruangan saya untuk ambil surat ini”, Rara hanya membalas dengan anggukan. Rara berjalan keluar menuju ke kelasnya, untung hari ini enggak ada guru yang ngajar jadi mereka free class. waktu pun berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah waktunya pulang sekolah, terbukti dari dan dentingan bunyi lonceng yang begitu nyaring. , “Nani gue duluan ya”, “tunggu in gue dong” ,”bukannya gue enggak mau memanen elu , tapi gue takut nanti ayah gue marah, kalau gue pulangnya telat”, “ohh kalau gitu lo duluan gihh”, “dada Nani. Rara berjalan pulang ke rumahnya ia lupa buat ambil surat dari pak Bayu.

Ting tong.., ting tong.., bunyi bel rumah membuat Rara ter buyar dari lamunannya, “siapa sih sore-sore gini bertamu”, Rara keluar untuk membuka pintu. “Ternyata elu Nani” ,”gue kirain siapa”, “yuk masuk”, “agak usah gue buru-buru”, “gue cuma mau nganterin ini”. Nani menyerahkan selembar kertas, “ini apaan?”, “enggak tahu tadi pak Bayu nitip surat, katanya buat kamu”. “ohh”, “emangnya itu surat apaan?” Nani kembali bertanya, “ini surat panggilan orang tua”, “kamu tuh kenapa sih enggak berubah-berubah?”, “kamu pikir, dengan kayak gitu ayah kamu bisa ngertin kamu?”, “bisa peka?”, “buktinya bukan dapat perhatian, kamu malah dipukul”. “Terus gua harus gimana lagi?” ,”gue udah berusaha jadi anak yang baik, banyak prestasi tapi apa?”, “ayah enggak peduli”, “terus sekarang gue berubah, ayah tetap egak peduli sama gue”, “gue harus gimana lagi?”. “Kalau kayak gini sih percuma gue hidup”, “enggak guna”, “gue itu cuma mau kayak anak-anak lain, yang di mengerti in oleh ayahnya”, “yang disayang ,bukan kayak gini”. “Yang sabar ya Rara kamu kuat kok”, “aku tahu kamu pasti bisa merubah sikap ayah kamu kayak dulu lagi”, “ini cuma butuh waktu aja” ,”semua badai pasti akan reda”, “kayak masalah kamu”, “pasti akan selesai”. “Nani gue tahu kalau masalah akan selesai”, “tapi gue capek kayak gini terus”, “yang sabar yang sabar ya Ra”, “semua pasti ada jalan keluarnya”. “yah suda kalau gitu, gue pulang dulu ya”, “ada urusan di rumah”, “Oh oke nan”. Rara kembali menutup pintu setelah melihat kepergian Nani. Rara tidak sengaja menjatuh kan kertas itu di lantai, saat ia menutup pintu kemudian Rara kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya, Rara bersiap sekolah seperti biasa Selesai bersiap, ia berniat untuk sarapan. saat hendak mengambil segelas susu, ia kaget karena cengkeraman tangan yang melingkar di tangannya. “ayah ada apa ini?”, “ini maksudnya apa?”, Adi menjatuhkan secarik kertas di meja dengan keras, “kamu itu ya enggak tahu terima kasih yah”, “sudah saya biayai sekolah, bukannya sekolah benar malah kayak gini” ,”mau jadi perempuan macam apa kamu?”, “dasar anak sialan!. Rara tersentak kaget karena kata-kata Adi yang begitu kasar, “itu semua gara-gara papa”, “kenapa baru sekarang bapak peduli sama Rara?”, “kenapa?”. “Rara juga enggak bakal kayak gini, kalau ayah perhatikan sama Rara”, “Rara hanya butuh kasih sayang dari ayah ,kaya anak-anak lain”, “ayah enggak pernah nannya keadaan Rara ”, “ayah cuma peduli sama pekerjaan ayah” . Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Rara. “kenapa? Ayah mau tambapar lagi”, “ini tampar yah”, “atau papa mau salahin Rara karena kematian ibu”, “itu semua semua sudah Tuhan yang atur yah” ,“itu takdir”. “Rara juga enggak tahu kalau ibu bakal meninggal”, “Rara sudah capek berdebat dengan ayah” , enggak bakal selesai”. Rara berlari kembali ke kamarnya, Rara maulai menangis, ia sudah enggak tahan lagi dengan kelakuan ayahnya yang kasar.

Di sisi lain Adi masih teringat dengan kata-kata Rara ,dia memang sudah salah memperlakukan Rara seperti itu dia sudah kasar sama Rara. Selama ini dia mempersalahkan Rara atas kematian istrinya, selama ini juga dia tidak pernah memperhatikan Rara, dia sibuk dengan kerjanya itu semua karena keegoisannya. Adi berjalan menaiki tangga menuju kamar Rara, di balik pintu kayu yang kokoh, Adi mendengar tangisan Rara. Adi mencoba memberanikan diri untuk masuk ke kamar Rara. Sedangkan di dalam sana Rara sedang bergelung di bawah selimut sambil menangis, ‘ceklek’ bunyi suara pintu terbuka dan menampilkan ayah Rara yang berdiri di pintu sambil menatap sendu ke arah putrinya.

Adi berjalan menuju ranjang Rara, “Ra… Maafin ayah, ayah tau selama ini sikap ayah ke kamu memang jahat tapi ayah melakukan karena ayah tidak bisa menerima kenyataan bahwa mama kamu meninggal” ucap Adi dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Rara yang sedari dari mendengar perkataan ayahnya hanya bungkam dan sambil terisak kecil, ia bangkit dari tidurnya dan menatap ayahnya yang sedang menatap kearah nya dengan sendu, “Rara udah maafin ayah kok sebelum ayah minta maaf” ucap Rara sambil tersenyum kearah ayahnya. Adi yang mendengar perkataan putrinya sontak merasa bahagia dan segera memeluk Rara dengan sayang, “terima kasih karena udah maafin perbuatan ayah kepada Rara, ayah sayang Rara. Ayo kita mulai semua dari awal lagi” ucap Adi bahagia. Rara yang dipeluk ayahnya pun merasa senang dan membalas pelukan ayahnya.

Motivasinya: Setiap penyesalan adalah pengalaman dan pengalaman akan membawa kita pada kebijaksanaan

 

Penulis : KATARINA ASO Kelas: XI MIPA 2B